Kamis, 22 Desember 2011

Pemanfaatan Lahan Kritis Untuk Swasembada Pangan

Pemerintah saat ini sedang mengkaji pembangunan sawah baru di lahan hutan produksi. Adalah Kemenhut, BPN dan Kementan yang bekerja membuat kajian itu.

Bambang Soepijanto, Dirjen Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan mengungkapkan kajian ini dibuat dalam rangka meningkatkan produksi pangan nasional. Sesuai Instrukri Presiden yang mencanangkan surplus produksi beras 10 juta ton pada tahun 2014. 

Program ini ditargetkan terealisasi Pada Tahun 2012. Ada seluas 200 ribu hektar sawah yang sudah ditawarkan oleh Kemenhut. Namun hingga saat ini belum ada satu kepastian berapa hektar kira-kira lahan sawah baru yang akan dibangun diatas jenis lahan hutan produksi ini.
Berikut petikan wawancaranya:


Apa sebenarnya yang melatarbelakangi pengalihan lahan hutan menjadi lahan pertanian pangan?
Sesuai Instrukri Presiden, bahwa telah dicanangkan surplus 10 juta ton beras sampai Tahun 2014. Sebagai penyedia ruang, Kementerian Kehutanan siap menawarkan dan menyediakan lahan hutan produksi untuk mencetak lahan sawah baru.


Kemarin kami sudah menyampaikan kepada presiden, bahwa ada seluas 200 ribu hektar lahan hutan produksi  yang siap untuk dijadikan sebagai lahan sawah baru. Jika Kementerian Pertanian mengagap 200 ribu hektar itu kurang, kami juga akan siap menawarkan hutan produksi yang lebih luas lagi.  Apa sih yang tidak kita lakukan jika itu untuk kemaslahatan bersama.

Lahan Hutan seperti  apa yang ditawarkan untuk lahan sawah baru itu?
Yang boleh itu Jenis hutan produksi. Lahan hutan produksi inikan dibagi dua, yakni lahan hutan produksi tetap dan lahan hutan produksi yang dapat dikonversi. Yang kami tawarkan adalah lahan hutan produksi yang dapat dikonversi. Artinya, lahan hutan produksi yang dapat dikonversi dengan tanaman lain. Tentunya lahan  inipun adalah lahan yang kira-kira bisa dijadikan menjadi areal persawahan. Misalnya dilihat dari kedataran dan kemiringan tanahnya, beserta sumber airnya apakah memadai untuk dijadikan sawah. Lahan hutan produksi tetap, tidak bisa dijadikan lahan sawah. Sebab tanaman hutannya sudah tetap, tidak bisa diubah menjadi tanaman lain.

Sudah sejauh mana tanggapan Kementerian Pertanian merespon tawaran Kemenhut ini?
Kemarin di forum Badan Pertanahan Nasional, saya menyampaikan bahwa sebelum lahan 200 hektar kini dijadikan menjadi sawah, sebaiknya terlebih dulu ada  semacam evaluasi  terhadap sawah-sawah yang sudah ada saat ini. Sebab sawah yang ada saat ini ada sawah teknis, non teknis, sawah sederhana dan sawah tadah hujan. Nah, apakah lahan sawah yang ada saat ini, telah atau belum berpotensi untuk menghasilkan 10 juta ton beras. Jika lahan sawah yang ada saat ini ternyata cukup menghasilakan 10 juta ton beras, mungkin tidak perlu mencetak lahan  sawah baru lagi. Maka, sampai saat ini kementerian kehutanan sedang mengevaluasi lahan persawahan yang ada saat ini.

200 ribu hektar yang akan ditawarkan itu berada di daerah mana saja?
Itu di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan.

Mengapa tidak merata dan pembagiannya ada  disetiap daerah?
Nah itu kewenangan Kementerian Pertanian. Sampai saat ini kajian Kementan belum sampai pada penyampaian titik-titik lokasi pembangunan sawah baru ini berada di daerah mana saja. Apakah harus berada di setiap daerah, itu koridor Kementan yang menentukan, kami hanya sebatas penyediaan dan pelepasan lahan saja.

Bagaimana mekanisme pelepasan lahan hutan produksi yang dapat konversi ini?
Seperti biasa, itu terlebih dahulu ada pihak yang mengajukan permohonan ke Kemenhut. Permohonannya bisa macam-macam, ada untuk kebun sawit, karet coklat.  Kemudian kita berikan izin prinsip. Setelah itu kita minta si pemohon mengukur sendiri mana-mana tata batasnya agar hingga dua tahun diserahkan ke kita. Setelah ukuran tata batasnya kita terima, kita lihat peta, apakah lahan ini masuk hutan produksi atau bukan. Jika tidak masuk hutan lindung, pak menteri memberikan hak pelepasannya. Setelah dia mempunyai SK Pelepasan dari Kemenhut, si pemohon biusa mengurus Hak Guna Usaha (HGU) ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Apakah mekanisme ini berlaku juga untuk pelepasan lahan hutan untuk sawah baru ini juga?
Iyah betul, sama saja kalau menurut saya. Tapi entahlah, karena ini merupakan permohonan izin untuk tanaman pangan, bisa saja ada aturan baru yang lebih mudah. Sebab, selama ini yang kita lepaskan itukan permohonan pelepasan untuk lahan kebun saja.

Apakah lahan hutan untuk sawah baru ini termasuk lahan hutan kritis yang kayunya sudah habis sampai bertahun-tahun tidak dimanfaatkan?    
Bisa saja memang, tetapi tidak mesti lahan hutan kritis.  Yang jelas jika statusnya lahan hutan ptoduksi yang dapat dikonversi, itu bisa saja dijjadikan untuk sawah. Jika lahan kritis itu masuk lahan hutan lindung, tentu tidak bisa untuk sawah.

Bukannya lahan hutan produksi yang ada saat ini kebanyakan sudah menjadi lahan hutan kritis, karena kayunya sudah diambil, seperti di Kalimantan?
Lahan hutan kritis ini beda lagi penanganannya. Bukan diperuntukkan untuk tanaman pangan, tetapi lebih kepada tanaman perkebunan. Lahan hutan kritis atau tidak, yang jelas lahan hutan produksi yang dapat dikonversi, boleh diperuntukkan sebagai areal sawah.

Slama ini, pengusaha berdalih mengajukan izin untuk perkebunan. Setelah kayunya dia tebangi, si pengusaha mangkir tak kunjung menanam sawit. Jangan sampai Kemenhut dikibuli lagi dalam mengeluarkan izin lahan hutan untuk  lahan sawah baru ini nanti?
Memang iyah, berdasarkan kasus seperti itu, kita memang harus hati-hati dalam memberikan izin pelepasan hutan saat ini. Jangan sampai, hutan produksi yang kita keluarkan SK pelepasannya, habis ditebangi tidak menjadi lahan sawah. Padahal kita sebagai penyedia ruangnya tidak ada masalah. 

Berapa Hektar kira-kira ketersediaan Lahan hutan Produksi yang dapat dikonversi ini untuk menjadi areal persawahan?
Lahan hutan produksi yang dapat dikonversi ini ada sampai seluas 20 juta hektar lebih. Jadi jika itu semua akan dijadikan sawah demi ketahanan pangan, demi kepentingan nasional kita sangat siap melakukan pelepasan lahan itu.

Apakah penyediaan lahan hutan ini menjadi areal persawahan ini serta merta akan menjamin ketersediaan pangan kita? 
Nah, makanya saya pertanyakan sebagai bahan kajian Kementan kemarin. Apakah konsernnya lahan atau budidaya.  Jika konsernnya adalah budidaya, berarti tidak harus mencetak lahan sawah baru. Jangan sampai nanti, setelah sawahnya jadi, tetapi tidak digarap dan tidak terbudidaya untuk pangan. Banyak lahan sawah yang menganggur, karena ternyata masyarakat tidak mau menggarapnya. Makanya dibutuhkan sebuah kajian yang mendalam soal ini. (Akbar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar